Kamis, 19 Januari 2012

manusia dan keadilan

Manusia dan Keadilan

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”. Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: “Kita tidak hidup di dunia yang adil”. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya
§  Keadilan Legal atau Keadilan Moral
Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dan masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasamya paling cocok baginya (The man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan, Sunoto menyebutnya keadilan legal.
Keadilan timbul karna penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang
selaras kepada bagian-hagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud
dalam masyarakat bilamana setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara baik.
                               

http://sabillahwahid.blogspot.com/2011/05/manusia-dan-keadilan.html

 

PENGARUH KEADILAN

 

PENGARUH KEADILAN ORGANISASIONAL TERHADAP INTENSITAS KEMANGKIRAN PEGAWAI DI PEMERINTAH KOTA METRO

PENDAHULUAN



Keadilan Sosial

Keadilan sosial adalah sebuah konsep yang membuat para filsuf terkagum-kagum sejak Latar Belakang Masalah
Penelitian tentang keadilan organisasional mengalami perkembangan yang sangat pesat pada beberapa tahun terakhir. Persepsi keadilan distributif, prosedural, dan interaksional yang dipandang sebagai komponen utama keadilan organisasional dihubungkan dengan beraneka ragam hasil dari suatu pekerjaan, seperti pelaksanaan kegiatan, perilaku suatu kelompok dan sikap kerja (Cropanzano et. al, 2000).
Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa perlakuan adil berhubungan erat dengan perilaku kerja dan pencapaian kinerja yang lebih tinggi (Konovsky, 2003). Sebagai konsekuensi dari hal di atas, banyak peneliti pada bidang akuntansi keperilakukan melakukan pengujian kembali tentang konsep keadilan dalam organisasi (Greenberg 1990 dalam Cropanzano et. al, 2000). Secara garis besar para pegawai akan mengevaluasi keadilan dalam tiga klasifikasi peristiwa yaitu hasil yang mereka terima dari organisasi (keadilan distribusi), kebijakan formal atau proses dengan mana suatu pencapaian dialokasikan (keadilan prosedural), dan perlakuan yang diambil oleh pengambil keputusan antar personal dalam organisasi (keadilan interaksional), Cropanzano et. al (2000).
Para peneliti ilmu-ilmu sosialpun sudah lama mengakui pentingnya pemahaman tentang keadilan organisasional sebagai syarat utama memahami efektifnya fungsi organisasi dan kinerja pegawai yang mereka pekerjakan (Greenberg, 1990). Peneliti yang lain menegaskan lagi bahwa persepsi keadilan sudah lama telah menjadi variabel explanatory dalam penelitian organisasi antara lain (Lam, Schaubroeck, dan Aryee, 2002). Keadilan organisasional menggambarkan persepsi individu atau kelompok tentang kewajaran perilaku yang mereka terima dari sebuah organisasi dan reaksi perilaku mereka terhadap persepsi tersebut.
Secara spesifik, Parker dan Kohlmeyer (2005) mendefinisikan keadilan organisasional sebagai kondisi pekerjaan yang mengarahkan individu pada suatu keyakinan bahwa mereka diperlakukan secara adil atau tidak adil oleh organisasinya. Lebih jauh dijelaskan bahwa keadilan organisasi merupakan motivator penting dalam suatu lingkungan pekerjaan. Ketika individu merasakan suatu ketidakadilan, moral mereka akan turun, mereka kemungkinan besar akan meninggalkan pekerjaannya, dan bahkan mungkin membalas dendam terhadap organisasinya.
Walaupun banyak studi yang telah dilakukan dalam bidang psikologi yang menunjukkan pentingnya pemahaman tentang keadilan organisasi, namun belum banyak studi yang membahas tentang keadilan organisasi yang terkait dengan literatur akuntansi. Pengecualian yang dapat dicatat misalnya: Siegel, Reinstein, dan Miller (2001), yang menginvestigasi hubungan antara keadilan organisasi dan program pendampingan (mentoring), dan selanjutnya Parker dan Kohlmeyer (2005), yang menemukan bahwa persepsi keadilan yang diproksikan dalam diskriminasi yang dirasakan (perceived discrimination) mempengaruhi tingkat intensitas kemangkiran melalui intermediasi komitmen organisasional (organizational commitment) dan kepuasan (job satisfaction). Parker dan Kohlmeyer (2005) menjelaskan keadilan organisasional meliputi persepsi anggota organisasi tentang kondisi keadilan yang mereka alami dalam organisasi, secara khusus tentang rasa keadilan yang terkait dengan alokasi penghargaan organisasi seperti gaji dan promosi. Rasa keadilan akan muncul ketika otoritas organisasi konsisten dan tidak bias dalam pengambilan keputusan organisasi terutama terkait dengan alokasi gaji dan promosi. Aturan organisasi yang tidak konsisten dan bias terhadap individu adalah suatu tindakan diskriminasi, sehingga muncul rasa diskriminasi (perceived discrimination) oleh individu.
Untuk kasus di Indonesia, fenomena intensitas kemangkiran pegawai pemerintah daerah disadari benar, baik oleh akademisi maupun praktisi. Yunus (1992) dalam Setiawan (2005) menyatakan bahwa rasa ketidakadilan dalam kebijakan mendorong tingginya intensitas kemangkiran pegawai pemerintah daerah. Selain itu, kemangkiran pegawai juga didorong oleh kurangnya pengawasan dari pimpinan dan rendahnya komitmen pegawai pada organisasi yang dimiliki. Berkaitan dengan fenomena dan realita di atas, beberapa peneliti telah melakukan pengujian untuk meneliti faktor-faktor yang mendorong kemangkiran pegawai, antara lain Suwandi dan Indriantoro (1999); Ratnawati dan Kusuma (2002)
Perasaan diskriminasi yang dialami seorang pegawai dalam suatu organisasi termasuk di pemerintah daerah Kota Metro dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik pada tingkat individu maupun pada organisasi secara keseluruhan. Salah satunya adalah munculnya intensitas kemangkiran pegawai. Dalam beberapa kasus, menunjukkan bahwa kemangkiran pegawai pemerintah daerah relatif cukup tinggi. Selain dampak perilaku, tingginya tingkat kemangkiran tersebut akan semakin banyak menimbulkan berbagai potensi biaya, baik biaya pelatihan pegawai maupun tingkat kinerja yang mesti dikorbankan. Bahkan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari tim gabungan Inspektorat serta Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan Daerah (BKPPD) Kota Metro bahwa disiplin pegawai pemerintah di Kota Metro tidak juga menunjukkan peningkatan meskipun sudah dibentuk tim monitoring penegakan disiplin pegawai. Terbukti, inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan menemukan puluhan pegawai dari berbagai satuan kerja yang mangkir.
Menyadari pentingnya pemahaman keadilan organisasional (organizational justice) sebagai landasan pemahaman tentang efektivitas organisasi dan perilaku pegawai, mendorong peneliti untuk menguji pengaruh keadilan organisasional terhadap kepercayaan pada pimpinan dan komitmen organisasi. Pengaruh tersebut, selanjutnya mungkin berpengaruh terhadap intensitas kemangkiran pegawai pemerintah daerah di Kota Metro.

Plato membantah filsuf muda, Thrasymachus, karena ia menyatakan bahwa keadilan adalah apa pun yang ditentukan oleh si terkuat. Dalam Republik, Plato meresmikan alasan bahwa sebuah negara ideal akan bersandar pada empat sifat baik: kebijakan, keberanian, pantangan (atau keprihatinan), dan keadilan.

Penambahan kata sosial adalah untuk membedakan keadilan sosial dengan konsep keadilan dalam hukum.

Keadilan sosial juga merupakan salah satu butir dalam Pancasila.


MACAM-MACAM KEADILAN
MACAM-MACAM KEADILAN
Ada Berbagai macam keadilan yang didefinisikan berlainan antara lain :
 Keadilan Legal atau Keadilan Moral
Plato berpendapat bahwa keadilan clan hukum merupakan substansi rohani umum dan masyarakat yang membuat clan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (Tha man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan, Sunoto menyebutnya keadilan legal.
Keadilan timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakt bilamana setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara balk
menurut kemampuannya. Fungsi penguasa ialah membagi-bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing orang sesuai dengan keserasian itu. Setiap orang tidak mencampuri tugas dan urusan yang tidak cocok baginya.
Ketidakadilan terjadi apabila ada campur tangan terhadap pihak lain yang melaksanakan tugas-tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan dan ketidakserasian. Misalnya, seorang pengurus kesehatan mencampuri urusan pendidikan, atau seorang petugas pertanian mencampuri urusan petugas kehutanan. Bila itu dilakukan maka akan terjadi kekacauan.
 Keadilan Distributif
Aristoles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally). Sebagai contoh, Budi bekerja selama 30 hari sedangkan Doni bekerja 15 hari. Pada waktu diberikan hadiah harus dibedakan antara Ali dan Budi, yaitu perbedaan sesuai dengan lamanya bekerja. Andaikata Budi menerima Rp.100.000,- maka Doni harus menerima. Rp 50.000. Akan tetapi bila besar hadiah Ali dan Budi sama, justru hal tersebut tidak adil dan melenceng dari asas keadilan.
http://aditiodoank.wordpress.com/2011/04/03/macam-macam-keadilan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar