Sabtu, 04 Mei 2013

Fenomena Bullying di Sekolah



“Fenomena Bullying di Sekolah”


Apakah definisi BULLYING ????

Definisi bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti, 2006). Bullying berasal dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah.
Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi (Susanti, 2006).
Suatu hal yang alamiah bila memandang bullying sebagai suatu kejahatan, dikarenakan oleh unsur-unsur yang ada di dalam bullying itu sendiri. Rigby (2003:51) menguraikan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian bullying yakni antara lain keinginan untuk menyakiti, tindakan negatif, ketidakseimbangan kekuatan, pengulangan atau repetisi, bukan sekedar penggunaan kekuatan, kesenangan yang dirasakan oleh pelaku dan rasa tertekan di pihak korban.
Tahun 2011 ditutup dengan catatan kelam: ”bullying” masih terus menjadi momok dalam dunia pendidikan kita. Di sejumlah sekolah, aksi tidak terpuji itu masih terus terjadi dan tak kunjung berhenti, bahkan cenderung diwariskan kepada siswa-siswa baru.
Fakta menunjukkan, bullying berdampak secara fisik, psikis, dan sosial terhadap korban. Selain menurunnya prestasi belajar, bullying juga mengakibatkan dampak fisik, seperti kehilangan selera makan dan migrain. Korban juga rentan menjadi pencemas hingga mengalami depresi dan menarik diri dari pergaulan. Dalam tingkatan yang lebih ekstrem, korban bahkan ada yang sampai membunuh.
Data yang dirilis Pusat Data dan Informasi, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), menyebutkan, angka kekerasan pada tahun 2011 menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan sekaligus mengkhawatirkan. Sekretaris Jenderal Komnas PA Samsul Ridwan menyebut adanya peningkatan laporan atau pengaduan yang diterima Divisi Pengaduan dan Advokasi, Komnas Anak.
Untuk jumlah pengaduan yang masuk, peningkatannya mencapai 98 persen pada tahun 2011, yaitu 2.386 pengaduan dari 1.234 laporan pada tahun 2010. Kasus kekerasan seksual juga meningkat menjadi 2.508 kasus pada 2011, meningkat dari data tahun 2010 sebanyak 2.413 kasus. Sebanyak 1.020 kasus atau setara 62,7 persen dari angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk sodomi, pemerkosaan, pencabulan, dan inses. Selebihnya adalah kekerasan fisik dan psikis.
Fakta ini tentu sangat memprihatinkan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menyenangkan berubah menjadi tempat mengerikan, bahkan mengancam nyawa. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk menemukan kawan berubah menjadi tempat mencari lawan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, perilaku bullying bahkan terus berkembang di lingkup yang lebih luas. Saat ini, bullying juga merambat ke tembok sekolah dasar. Sutradara film Langit Biru yang mengangkat tema tentang bullying di sekolah, Lasja F Susatyo, mengisahkan bagaimana anaknya yang masih duduk di bangku SD pun tidak luput dari perilaku bullying.
Keprihatinan itulah yang kemudian mendasari lahirnya film Langit Biru. Selain mengisahkan perilaku bullying di sekolah, film ini membawa pesan anti-bullying yang harus terus digaungkan ke segala penjuru, terutama di dalam tembok-tembok sekolah di seluruh Indonesia.
Di luar negeri, isu bullying sudah dianggap sebagai isu penting. Sejumlah selebriti bahkan tak segan lagi terlibat dalam kampanye anti-bullying. Contohnya adalah aktris yang bermain di film The Devil Wears Prada, Anna Hathaway, serta penyanyi fenomenal Lady Gaga yang mendirikan yayasan Born This Way yang khusus menangani isu bullying di kalangan remaja. Presiden Amerika Serikat Barack Obama bahkan mengusung isu anti-bullying dalam kampanye pencalonan presidennya dan mendapat dukungan luas berkat isu tersebut.

Gangguan kejiwaan
Perawat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Winda Ratna Wulan, yang kini menyelesaikan tesis tentang bullying di Universitas Indonesia menuturkan, bullying adalah perilaku yang dirasakan baik secara verbal maupun nonverbal atau perilaku yang dirasakan oleh korban sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. ”Misalnya digosipkan, diejek, dikucilkan, dibentak, didiskriminasi, dan diberi tugas di luar kewajaran,” kata Winda.
Winda menambahkan, sejumlah pakar mengategorikan kekerasan fisik sebagai bullying. Namun, kebanyakan tidak memasukkan kekerasan sebagai bentuk bullying. ”Bullying lebih merupakan tahapan yang terjadi sebelum kekerasan fisik, step awal dari kekerasan,” katanya.
Perilaku bullying disebabkan, antara lain, memang pelaku mengalami gangguan kejiwaan, seperti narsistis dan obsesif kompulsif. Selain itu, kadang pelaku merasa tidak mampu mengendalikan korban atau bisa juga dari karakter korban.
”Karakter yang umum di-bully ada dua. Yang pertama orang yang populer, supel, banyak disukai, dan pintar. Pokoknya, punya kelebihan dibandingkan orang lain. Yang kedua adalah karakter yang berbeda dari orang lain, misalnya kurang pandai, gemuk, pendek, dan tidak berdaya. Bisa juga kaum minoritas, yaitu yang dianggap berbeda, misal suku tertentu atau agama tertentu,” ungkapnya.
Di kalangan remaja yang tengah memasuki masa peralihan dari anak ke dewasa, dan pada tahap tersebut rata-rata remaja ingin diakui (masa pencarian identitas diri), aksi bullying dilakukan bisa karena merasa keren jika dia merasa memiliki power. ”Jadi, penggencetan, aksi bullying, dilakukan,” tuturnya.
Meski berdampak hebat, tidak mudah menghentikan perilaku bullying. Hal ini, antara lain, dikarenakan kadang korban merasa tidak sedang mendapat perlakuan bullying. Selain itu juga karena lingkungan masih menganggap bullying sebagai hal wajar.
”Pencegahannya bisa dilakukan melalui undang-undang yang ketat. Dukungan orang-orang di sekitar pelaku juga penting supaya hal tersebut tidak terjadi. Orangtua dan guru juga harus aware terhadap bullying,” ujar Winda.
Lebih dari itu, korban juga harus berani melapor apabila mengalami bullying. Korban juga perlu survive atas dirinya sendiri agar tidak terus-terusan menjadi korban. Semakin lemah, semakin ditindas. ”Butuh konselor untuk memulihkan yang sudah parah, tetapi bagus juga kalau dibentuk peers dari orang-orang yang menjadi korban sebagai pendukung,” kata Winda.
Dalam catatan akhir tahun yang dirilis Komnas PA, Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengungkapkan, diperlukan kerja konkret yang lebih keras untuk melindungi anak-anak.

”Kami, Komnas Anak, akan mengambil peran yang telah kami jalankan selama ini dengan merumuskan program yang lebih sistemis, bukan hanya sebagai ’pemadam kebakaran’, melainkan pada sosialisasi akan UU Perlindungan Anak dan kewajiban untuk anak dilindungi pada tahun 2012 mendatang,” ujar Arist. (Dwi As Setianingsih)
Sumber : Kompas.com

1 komentar: