“Fenomena Bullying di Sekolah”
Apakah definisi BULLYING ????
Definisi bullying merupakan sebuah kata
serapan dari bahasa Inggris. Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat,
terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia
(Susanti, 2006). Bullying berasal dari kata bully yang artinya penggertak,
orang yang mengganggu orang yang lemah.
Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia
yang seringkali dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di
antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan,
atau intimidasi (Susanti, 2006).
Suatu hal yang alamiah bila memandang
bullying sebagai suatu kejahatan, dikarenakan oleh unsur-unsur yang ada di
dalam bullying itu sendiri. Rigby (2003:51) menguraikan unsur-unsur yang
terkandung dalam pengertian bullying yakni antara lain keinginan untuk
menyakiti, tindakan negatif, ketidakseimbangan kekuatan, pengulangan atau
repetisi, bukan sekedar penggunaan kekuatan, kesenangan yang dirasakan oleh
pelaku dan rasa tertekan di pihak korban.
Tahun 2011 ditutup
dengan catatan kelam: ”bullying” masih terus menjadi momok dalam dunia
pendidikan kita. Di sejumlah sekolah, aksi tidak terpuji itu masih terus
terjadi dan tak kunjung berhenti, bahkan cenderung diwariskan kepada
siswa-siswa baru.
Fakta menunjukkan,
bullying berdampak secara fisik, psikis, dan sosial terhadap korban. Selain
menurunnya prestasi belajar, bullying juga mengakibatkan dampak fisik, seperti
kehilangan selera makan dan migrain. Korban juga rentan menjadi pencemas hingga
mengalami depresi dan menarik diri dari pergaulan. Dalam tingkatan yang lebih
ekstrem, korban bahkan ada yang sampai membunuh.
Data yang dirilis
Pusat Data dan Informasi, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA),
menyebutkan, angka kekerasan pada tahun 2011 menunjukkan kenaikan yang cukup
signifikan sekaligus mengkhawatirkan. Sekretaris Jenderal Komnas PA Samsul
Ridwan menyebut adanya peningkatan laporan atau pengaduan yang diterima Divisi
Pengaduan dan Advokasi, Komnas Anak.
Untuk jumlah
pengaduan yang masuk, peningkatannya mencapai 98 persen pada tahun 2011, yaitu
2.386 pengaduan dari 1.234 laporan pada tahun 2010. Kasus kekerasan seksual
juga meningkat menjadi 2.508 kasus pada 2011, meningkat dari data tahun 2010
sebanyak 2.413 kasus. Sebanyak 1.020 kasus atau setara 62,7 persen dari angka
tersebut adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk sodomi,
pemerkosaan, pencabulan, dan inses. Selebihnya adalah kekerasan fisik dan
psikis.
Fakta ini tentu
sangat memprihatinkan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menyenangkan
berubah menjadi tempat mengerikan, bahkan mengancam nyawa. Sekolah yang
seharusnya menjadi tempat untuk menemukan kawan berubah menjadi tempat mencari
lawan.
Lebih
mengkhawatirkan lagi, perilaku bullying bahkan terus berkembang di lingkup yang
lebih luas. Saat ini, bullying juga merambat ke tembok sekolah dasar. Sutradara
film Langit Biru yang mengangkat tema tentang bullying di sekolah, Lasja F
Susatyo, mengisahkan bagaimana anaknya yang masih duduk di bangku SD pun tidak
luput dari perilaku bullying.
Keprihatinan itulah
yang kemudian mendasari lahirnya film Langit Biru. Selain mengisahkan perilaku
bullying di sekolah, film ini membawa pesan anti-bullying yang harus terus
digaungkan ke segala penjuru, terutama di dalam tembok-tembok sekolah di
seluruh Indonesia.
Di luar negeri, isu
bullying sudah dianggap sebagai isu penting. Sejumlah selebriti bahkan tak
segan lagi terlibat dalam kampanye anti-bullying. Contohnya adalah aktris yang
bermain di film The Devil Wears Prada, Anna Hathaway, serta penyanyi fenomenal
Lady Gaga yang mendirikan yayasan Born This Way yang khusus menangani isu
bullying di kalangan remaja. Presiden Amerika Serikat Barack Obama bahkan
mengusung isu anti-bullying dalam kampanye pencalonan presidennya dan mendapat
dukungan luas berkat isu tersebut.
Gangguan kejiwaan
Perawat Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Jawa Barat, Winda Ratna Wulan, yang kini menyelesaikan tesis
tentang bullying di Universitas Indonesia menuturkan, bullying adalah perilaku yang
dirasakan baik secara verbal maupun nonverbal atau perilaku yang dirasakan oleh
korban sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. ”Misalnya digosipkan, diejek,
dikucilkan, dibentak, didiskriminasi, dan diberi tugas di luar kewajaran,” kata
Winda.
Winda menambahkan,
sejumlah pakar mengategorikan kekerasan fisik sebagai bullying. Namun,
kebanyakan tidak memasukkan kekerasan sebagai bentuk bullying. ”Bullying lebih
merupakan tahapan yang terjadi sebelum kekerasan fisik, step awal dari
kekerasan,” katanya.
Perilaku bullying
disebabkan, antara lain, memang pelaku mengalami gangguan kejiwaan, seperti
narsistis dan obsesif kompulsif. Selain itu, kadang pelaku merasa tidak mampu
mengendalikan korban atau bisa juga dari karakter korban.
”Karakter yang umum
di-bully ada dua. Yang pertama orang yang populer, supel, banyak disukai, dan
pintar. Pokoknya, punya kelebihan dibandingkan orang lain. Yang kedua adalah
karakter yang berbeda dari orang lain, misalnya kurang pandai, gemuk, pendek,
dan tidak berdaya. Bisa juga kaum minoritas, yaitu yang dianggap berbeda, misal
suku tertentu atau agama tertentu,” ungkapnya.
Di kalangan remaja
yang tengah memasuki masa peralihan dari anak ke dewasa, dan pada tahap
tersebut rata-rata remaja ingin diakui (masa pencarian identitas diri), aksi
bullying dilakukan bisa karena merasa keren jika dia merasa memiliki power.
”Jadi, penggencetan, aksi bullying, dilakukan,” tuturnya.
Meski berdampak
hebat, tidak mudah menghentikan perilaku bullying. Hal ini, antara lain,
dikarenakan kadang korban merasa tidak sedang mendapat perlakuan bullying.
Selain itu juga karena lingkungan masih menganggap bullying sebagai hal wajar.
”Pencegahannya bisa
dilakukan melalui undang-undang yang ketat. Dukungan orang-orang di sekitar
pelaku juga penting supaya hal tersebut tidak terjadi. Orangtua dan guru juga
harus aware terhadap bullying,” ujar Winda.
Lebih dari itu,
korban juga harus berani melapor apabila mengalami bullying. Korban juga perlu
survive atas dirinya sendiri agar tidak terus-terusan menjadi korban. Semakin
lemah, semakin ditindas. ”Butuh konselor untuk memulihkan yang sudah parah,
tetapi bagus juga kalau dibentuk peers dari orang-orang yang menjadi korban
sebagai pendukung,” kata Winda.
Dalam catatan akhir
tahun yang dirilis Komnas PA, Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait
mengungkapkan, diperlukan kerja konkret yang lebih keras untuk melindungi
anak-anak.
”Kami, Komnas Anak, akan mengambil peran yang telah kami jalankan selama ini dengan merumuskan program yang lebih sistemis, bukan hanya sebagai ’pemadam kebakaran’, melainkan pada sosialisasi akan UU Perlindungan Anak dan kewajiban untuk anak dilindungi pada tahun 2012 mendatang,” ujar Arist. (Dwi As Setianingsih)
”Kami, Komnas Anak, akan mengambil peran yang telah kami jalankan selama ini dengan merumuskan program yang lebih sistemis, bukan hanya sebagai ’pemadam kebakaran’, melainkan pada sosialisasi akan UU Perlindungan Anak dan kewajiban untuk anak dilindungi pada tahun 2012 mendatang,” ujar Arist. (Dwi As Setianingsih)
Sumber : Kompas.com
wah artikel yang menarik nih adminkumat
BalasHapus